Selasa, 17 Maret 2009

BALAI DIKLAT KEAGAMAAN SEMARANG DULU, SEKARANG DAN YANG AKAN DATANG



”Nak ....dulu waktu masih kecil bapak kalau sekolah selalu jalan kaki, tidak pakai sepatu, buku buku pelajaran masih sangat sedikit, sekolahannya jelek, kalau hujan atapnya bocor , terus dalam berpakaian dan makan juga sangat sederhana. Coba bandingkan dengan kamu sekarang, sekolah diantar pakai mobil, baju seragam cukup tersedia, makanan berlebihan, sekolahan bagus, sarana prasarana mencukupi, kurang apa lagi?, maka tidak ada alasan untuk kamu tidak berprestasi,” Kata seorang bapak kepada anaknya menceritakan masa kecilnya dan membandingkan dengan keadaan anaknya sekarang. Sang anak segera menjawab, ”Pak itu kan zaman dulu yang masih belum maju, apa – apa sulit, nggak bisa dong dibandingkan dengan sekarang”.
Memang mestinya kita sebagai orang yang berada pada masa sekarang harus mengetahui dan menghargai keadaan dan orang – orang yang ada pada masa sebelumnya, sekaligus mempunyai semangat dan kemauan untuk membawa pada suatu keadaan yang lebih baik di masa mendatang.
Ada juga sebuah slogan yang terkenal dan penting untuk kita renungkan: ”Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa para pahlawannya”. Kenapa kita mesti menghargai para pahlawan yang telah gugur ? Bagaimana mungkin tidak, dari sejarah kita semua tahu bagaimana perjuangan, pengorbanan harta benda bahkan nyawa, keluarga, waktu, dan tenaga demi menumpas penindasan dan angkara murka sang penjajah. Perjuangan mereka tanpa pamrih, tidak pernah terlintas pada benak mereka apakah akan mendapat gaji, honor atau imbalan yang bersifat kebendaan lainnya. Sungguh tulus dan mulia wahai engkau Pahlawan Bangsa.

MASA – MASA AWAL KEBERADAAN BALAI DIKLAT
Mungkin tidak semua orang yang bekerja di Balai Diklat Keagamaan Semarang, tempat dimana kita mencari nafkah penghidupan ini mengetahui sejarah dan seluk beluk tentang bagaimana awalnya Balai Diklat ini berdiri. Ini bukan berarti lantas menuntut kita harus berperilaku dan berpola hidup seperti keadaan waktu dulu, namun setidaknya kita menjadi mengerti, memahami dan lebih – lebih dapat menimbulkan solidaritas kepada para pegawai sebelum kita yang belum sempat menikmati keadaan seperti yang kita nikmati sekarang. Suatu misal, kita mungkin sudah mendengar tentang musibah yang menimpa teman kita, yaitu mengenai masalah hukum yang menjeratnya sehingga beliau harus menjalani sebagian umurnya di balik terali besi, terlepas dari fakta hukum yang mungkin membuktikan beliau bersalah, namun fakta sesungguhnya yang ada sungguh mengiris hati, beliau hidup dalam kesederhanaan (bahkan boleh dibilang kekurangan) rumahnya sederhana, kendaraannya juga motor yang sudah tua, inilah hidup yang kadang begitu pahit untuk dijalani. Adakah rasa kepedulian kita?
Dalam perjalanan sebuah lembaga atau organisasi memang selalu mengalami perubahan – perubahan. Adakalanya perubahan itu ke arah yang selalu semakin membaik, sebagian lagi ada yang justru semakin memburuk, ada juga yang fluktuatif tidak menentu, sebagian yang lain setelah mencapai puncak, karena terlena dan lalai akhirnya terpuruk.
Balai Diklat Pegawai Teknis Keagamaan Semarang berdiri berdasarkan Keputusan Menteri Agama Nomor 45 Tahun 1981. Namun baru mempunyai ujud fisiknya pada tanggal 2 Maret 1982 dan karena belum mempunyai sarana dan fasilitas maka pada saat itu berkantor satu atap dengan Kantor Wilayah Departemen Agama Propinsi Jawa Tengah yang waktu itu beralamat di Jalan Patimura. Kurang lebih satu tahun kemudian tepatnya tanggal 3 Pebruari 1983 pindah di Jl. Ronggolawe Semarang Barat, yang merupakan gedung milik yayasan Perwanida Kanwil Departemen Agama Propinsi Jawa Tengah. Dan baru mulai tanggal 2 Oktober 1986 Balai Diklat berkantor di Jl. Temugiring Banyumanik Semarang yang kita tempati sekarang ini. Namun pada waktu itu gedung dan fasilitas yang ada masih sangat kurang, baik dari segi kualitas maupun kuantitasnya.
Dalam perjalanan waktu Balai Diklat Keagamaan Semarang merasa belum dapat menjalankan tugas pokok dan fungsinya secara optimal, karena terkendala oleh berbagai aturan dan ketentuan-ketentuan kediklatan yang membatasi kewenangan tugas kediklatan itu sendiri.
Dengan terbitnya Surat Keputusan Menteri Agama Nomor 1 Tahun 2001 tentang Struktur Organisasi dan Tata Kerja Departemen Agama, adalah merupakan era baru terjadinya Penguatan Tugas dan Fungsi Kelembagaan Diklat bagi Balai Diklat Keagamaan Semarang sebagai satu-satunya lembaga penyelenggara diklat di daerah yang mempunyai wilayah kerja di lingkungan Departemen Agama Propinsi Jawa Tengah dan Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.
Selama kurun waktu dari tahun 1982 sampai dengan tahun 2008 Balai Diklat Keagamaan Semarang telah mengalami 5 kali pergantian kepemimpinan yaitu:
1. Tahun 1982 – 1985 dipimpin oleh Drs. H. Moch. Muhadi
2. Tahun 1985 – 1995 dipimpin oleh Drs. H. Suharto
3. Tahun 1995 – 1999 dipimpin oleh Drs. H. Sutoyo
4. Tahun 1999 – 2005 dipimpin oleh Drs. H. Asmu’i, SH., M.Hum.
5. Tahun 2005 – sekarang dipimpin oleh Drs. H. Yusuf Hidayat

BALAI DIKLAT MASA KINI
KMA No. 345 Tahun 2004 (pasal 2) menyebutkan bahwa tugas Balai Diklat Keagamaan adalah melaksanakan pendidikan dan pelatihan tenaga administrasi dan tenaga teknis keagamaan sesuai dengan wilayah kerja masing-masing.
Untuk melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud diatas, Balai Diklat Keagamaan menyelenggarakan fungsi :
1. Perumusan visi, misi, kebijakan Balai Diklat Keagamaan;
2. Penyelenggaraan Pendidikan dan Pelatihan Tenaga Administrasi, dan Tenaga Teknis Keagamaan;
3. Pelayanan di bidang Pendidikan dan Pelatihan Keagamaan;
4. Penyiapan dan penyajian laporan hasil pelaksanaan tugas Balai Diklat Keagamaan;
5. Pelaksanaan koordinasi dan pengembangan kemitraan dengan satuan organisasi/satuan kerja di lingkungan Departemen Agama, dan pemerintah daerah, serta lembaga terkait lainnya.
Nomenklatur Balai Pendidikan dan Pelatihan Keagamaan Semarang dibentuk berdasarkan Keputusan Menteri Agama No. 345 Tahun 2004 yang menggantikan nomenklatur lama Balai Pendidikan dan Latihan Pegawai Teknis Keagamaan Semarang.
Balai Diklat Keagamaan Semarang memiliki pegawai sejumlah 78 orang yang terdiri dari 39 orang di Struktural dan 39 orang Widyaiswara serta tenaga honorer 12 orang.
Sarana dan prasarana yang dimiliki oleh Balai Diklat Keagamaan Semarang antara lain :
- Auditorium dengan kapasitas 250 orang
- Ruang Kelas, sebanyak 7 gedung dengan kapasitas 40 orang per-kelas.
- Gedung Asrama, dengan kapasitas daya tampung 250 orang
- Gedung Transit Dosen/Widyaiswara
- Masjid, dengan kapasitas 200 orang
- Sarana olah raga :
1. Lapangan Tenis
2. Lapangan Bulu Tangkis
3. Tenis Meja
4. Meja Bilyard
5. Treadmill
- Perpustakaan, kapasitas untuk 34 orang, dengan koleksi buku sebanyak 1.060 judul buku, 411 judul modul dan 60 judul majalah.
- Laboratorium
1. Laboratorium Bahasa (kapasitas 40 orang)
2. Laboratorium IPA dan Biologi (kapasitas 40 orang)
3. Laboratorium Komputer (Kapasitas 40 orang)
- Poliklinik
- Koperasi Pegawai
- Ruang Makan
- Area parkir (kapasitas 30 kendaraan roda 4)
Untuk optimal dan lancarnya agenda yang akan dilaksanakan maka juga telah disusun Rencana Strategis 2004-2009 sebagai berikut :
A. Latar Belakang.
1. Salah-satu implikasi terbitnya Surat Keputusan Menteri Agama No. 1 Tahun 2001 tentang Struktur Organisasi dan Tata Kerja Departemen Agama, adalah terjadinya penguatan tugas dan fungsi kelembagaan Diklat sebagai satu-satunya lembaga penyelenggara diklat dilingkungan Departemen Agama.
2. Berdasarkan Instruksi Menteri Agama No. 2 Tahun 2002 tentang Pengalihan perencanaan program dan anggaran serta pelaksanaan diklat dilingkungan Departemen Agama. dan Keputusan Menteri Agama No. 1 Tahun 2003 tentang Pedoman Pendidikan dan Pelatihan Pegawai Negeri Sipil dilingkungan Departemen Agama, Balai Diklat dituntut untuk mengoptimalkan seluruh sumber daya orgaisasi sehingga dapat memberikan konsrtribusi dan manfaat yang sebesar-besarnya bagi peningkatan profesionalisme aparatur Departemen Agama.
3. Optimalisasi sumberdaya penyelenggara diklat perlu dibarengi dengan perencanan diklat berdasarkan analisis kebutuhan diklat, sehingga program diklat yang dilaksanakan sesuai kebutuhan instansi pengguna jasa diklat.
B. Visi dan Misi
1. Visi
Terwujudnya Pendidikan dan Pelatihan yang handal dan profesional dalam mewujudkan Sumber Daya Manusia Departemen Agama yang berkualitas dan berakhlakul karimah.
2. Misi
a. Mengembangkan sistem diklat sebagai bagian dari pengembangan SDM dan karier aparatur-aparatur di lingkungan Departemen Agama
b. Mengembangkan koordinasi dengan jajaran Departemen Agama dengan berlandaskan semangat kekeluargaan dan kemitraan untuk memperkokoh kelembagaan diklat
c. Menyelenggarakan diklat sesuai dengan prioritas kebutuhan pengguna jasa diklat
d. Mendorong pemanfaatan alumni diklat untuk peningkatan produktifitas dan kinerja Departemen Agama
e. Meningkatkan efektifitas penyelenggaraan diklat yang senantiasa mengembangkan SDM aparatur penyelenggara diklat.

PELUANG DAN TANTANGAN MASA DEPAN
Wilayah Kerja Balai Diklat Keagamaan Semarang meliputi Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta yang meliputi beberapa unit kerja/satker serta jumlah pegawai yang banyak merupakan peluang sekaligus tantangan bagaimana kita mampu menggarapnya.
Kondisi obyektif sebelum terbitnya KMA Nomor 1 Tahun 2001Paling tidak ada tiga hal pokok yang cukup dapat menggambarkan kondisi obyektif sebelum terbitnya KMA Nomor 1 Tahun 2001 :
1. Tugas pokok dan fungsi kediklatan dilingkungan Departemen Agama tidak hanya dijalankan oleh unit pelaksana teknis kediklatan seperti Pusdiklat dan Balai Diklat namun dilaksanakan juga oleh unit eselon I dan Kantor Wilayah maupun unit-unit lain didaerah yang pelaksanaannya tanpa koordinasi dengan Pusdiklat/Balai Diklat, sehingga Balai Diklat tidak diberdayakan secara optimal sebagai unit pelaksana teknis kediklatan di daerah.
2. Kantor Wilayah dan unit-unit lain didaerah masing masing dapat merencanakan program dan mengalokasikan anggaran untuk kegiatan diklat, dan salah satu dampak yang terjadi adalah adanya dulpikasi anggaran program diklat antara yang dilaksanakan oleh Kantor Wilayah dan unit-unit lain didaerah dengan yang dilaksanakan oleh Balai Diklat.
3. Terjadinya ketidak-jelasan dan terkesan tumpang-tindih dalam kewenangan menyelenggarakan diklat, sehingga tugas pokok dan fungsi Balai Diklat tidak dapat berjalan secara optimal, karena sebagiannya dilaksanakan oleh unit lain yang tugas pokok dan fungsinya bukan melaksanakan diklat.
Banyak harapan yang dapat kita gantungkan untuk masa – masa yang akan datang terhadap Balai Diklat :
1. Keputusan Menteri Agama Nomor 1 Tahun 2001 merupakan pijakan baru dan langkah awal untuk memperkokoh eksistensi Balai Diklat Keagamaan sebagai satu-satunya institusi yang berwenang dan bertanggung jawab dalam penyelenggaraan diklat pegawai dilingkungan Departemen Agama didaerah.
2. Agar pelaksanaan Keputusan Menteri Agama tersebut berjalan efektif maka Menteri Agama melalui INMA No.2 Tahun 2002 menekankan bahwa TMT 2003 Perencanaan program dan anggaran serta pelaksanaan diklat dilakukan oleh Lembaga Diklat.
3. Sekjen melalui Biro Perencanaan mengalihkan perencanaan program dan anggaran diklat sesuai kewenangannya kepada Badan Litbang dan Diklat Dep. Agama, dan pada tahun 2004 kewenangan untuk merencakan program dan anggaran serta pelaksanaan diklat di daerah hanya dapat dilakukan oleh Balai Diklat Keagaman.
4. Perubahan tersebut merupakan tantangan sekaligus peluang bagi Balai Diklat untuk menunjukkan kapasitas dan kemampuannya untuk memberikan pelayanan kediklatan bagi seluruh pegawai pada jajaran Departemen Agama di Jawa Tengan dan D.I. Yogyakarta, dan berupaya dapat menunjukkan kinerjanya bahwa penyelenggaraan diklat oleh Balai Diklat hasilnya lebih baik daripada diselenggarakan oleh unit lain yang tidak memiliki wewenang, tugas pokok dan fungsi sebagaimana Balai Diklat.
Untuk mengemban tugas dan tanggung jawab tersebut perlu dukungan dari semua pihak, terutama dari unit-unit teknis dilingkungan Departemen Agama yang tugas pokok, fungsi dan kompetensinya dapat mendukung dan memperkuat lembaga Diklat.

* Pegawai Sub Bag. TU Balai Diklat Keagamaan Semarang

Daftar Pustaka
1. Keputusan Menteri Agama RI Nomor 345 Tahun 2004 tentang ”Organisasi dan Tata Kerja Balai Pendidikan dan Pelatihan Keagamaan
2. Bahan Buku Profil Balai Diklat Keagamaan Semarang Tahun 2008

PROMOTING SOME LEARNING STRATEGIES IN ENGLISH CLASSROOMS OF MADRASAH'S by Bisri Mustofa

INTRODUCTION
The Ministry of Religious Affairs (MoRA) of Indonesia always attempts to improve the quality of education at Madrasahs. Curriculum, including English, has been issued several times to make our Madrasahs’ quality better. The most recent curriculum issued is Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). This curriculum recommends active learning process where the learning process is student centred rather than teacher centred. However, this doesn't mean that teacher centred is unimportant.

RESEARCH METHOD
This research is based on reading three articles of previous research by English practitioners published in language periodicals, and the writer's experiences during teaching and reality in the field.

THE RESULT OF RESEARCH
Robles (1998), in her article: Reflective Learning; Why and How, explains that reflective learning is important to the students. Students can study based on their own learning style, while teachers can help the students to consider how to evaluate their own learning style.
According to her, there has been an argument among teachers that learning a language involves both content of the language and skills to use the content. So teachers have to teach the contents of language as well as the language skill. Teachers have to find some information about students' style of learning in order that teachers can guide students to learn as well as possible. This is intended to be aware of individual differences and learning style of the students, and to pay attention to the process and to provide the individual needs.
To know about students, Robles (1998), recommends using questioners and interviews. The questioners cover the questions about; what is going on, how they are doing, what they can do better, what has to be improved, and what problems they have individually. These questions can be done formally and informally such as writing class journal, oral report, and expressing like and dislike, etc.
Robles (1998), offers this strategy because it has at least six advantages for the students learning the second language. First of all, students will be active in the learning process because they know what they need after they have answered the questionnaires given by the teachers. Secondly, students are responsible for their own learning process because they can decide whether to improve their language or not. Next, students can increase their freedom from teachers to control their own learning style. After that they can learn from their mistakes as feedback to learn better for the next time. Mistakes become a source of information in terms of language and what to do next. Then they are encouraged to adopt the positive attitudes and believes in the terms of their learning and the language because the positive attitudes and believes become a strong tool for improvement. Finally, the students will realize what they have to do next after they have done something wrong with their learning because they have been aware of their learning process.
In short, reflective learning can be used to promote and awaken the students' motivation in order that they learn effectively, because students realize their own needs of learning.
Another second strategy is a stakeholder classroom, offered by Allen and Ryan (1999). They state that a stakeholder classroom must be applied to achieve effective learning for students who study English in a monolingual environment and students who have low motivation in second language learning. Allen and Ryan assume that this strategy has advantages for students. They have a freedom to choose learning materials and can play an active role in the class. The students can organize and construct their own tasks as well.
To achieve this, Allen and Ryan (1999), offer three stakes as follows: Stake one is content, where teachers have to conduct learners need analysis to elicit their own interest and to show their needs of learning are accounted. Stake two is setting the task, where students set up the tasks to exploit chosen raw materials, based on the model provided by teachers. Stake three is learners' participation where successful student's participation is seen as an awareness, which constantly seeks to involve students in all stages of the lessons. Step-by-step, the students come to participate in the setting of their own tasks. Thereby, they are engaged in taking a more active role in their own learning.
In conclusion, the involvement of students in choosing the tasks will cause the success of learning a second language provided that the teachers support them to take a part in the whole learning process, because students are more challenged and become more motivated.
Field (1998) suggests authentic material strategy. He offers how to set up the tasks from an original material for the beginners. The way to set up the task is to use whatever raw materials but teachers have to adjust the task given according to the students' level. This has some advantages for students. First of all, it is to develop their skill of English because original material gives students a practice for real English situation. Another one is to provide some experiences to learn without limitation of curriculum, because original materials are available everywhere. And the last one is to allow students to practise in identifying particular words by predicting the sense of the message.
However, Field (1998) admits scripted and simplified materials to build students' confidences by requiring certain characteristics to these materials. The one is that the language, which is used, is a clear language. The other is that the exchange is almost similar to the real language, and the still other is that the communicative purpose should be credible or contextual.
In short, the materials of English have to be taken from the real language to develop students' motivation in order that they study effectively. Teachers have to make the tasks according to the students' level, because the difficulty level depends on the tasks not on the materials.

DISCUSSION
To analyze the three strategies above, the reality at most Madrasahs must be answered. First of all, Madrasah has three grades with several classes of each paralleled. Each classes has formerly forty to forty-five students, while now according to the Process Standard, each classes should be thirty-five students. Most of Madrasahs have under qualified English teachers, even mismatch English teachers. Secondly, the students of Madrasah especially Tsanawiyah level, are relatively young and psychologically they do not realize their own purpose to study, because their emotions are still inconstant. After that Madrasah is still the second or third choice to study. next, generally, the Madrasah's facility of study including IT are still limited, and finally most students live in a country or remote area where English is never used to as a means of communication.
Based on these realities, a reflective learning strategy may has weakness as follows; firstly, the students probably do not answer the questionnaires provided honestly according to their learning needs because they feel afraid to make mistakes. Secondly, based on my experiences, many students are not ready to make mistake when studying. Next, not all language skills can be achieved with this strategy especially speaking skill because it needs guidance how to pronounce and utter a word, a phrase, or a sentence. Meanwhile English pronunciation is different from its writing form. Finally this strategy may be applicable for small classes of Madrasah where the English teachers are challenged enough to change their paradigm of learning process.
A stakeholder strategy has also disadvantages. Firstly, the contents that students are learning are very wide while curriculum just offers some limited texts or genres. So the students' needs to learn are not accommodated. The next, teachers will get difficulties to set up the tasks suitable to each student's interest. Finally it is hard to control too many students in each class. While the disadvantages of authenticity are that the authentic materials are still difficult to find especially for madrasahs which are not equipped with it or multi media sets. Secondly, learning process with authenticity strategy needs natural life of English like children learn their mother tongue while classrooms are not designed conditionally. And finally, its needs high costs to support or to find the raw materials, especially for private madrasahs in remote area, as many as the number of students.

CONCLUSION
Realizing these problems, it seems difficult for teachers to apply these three strategies in Madrasahs in general. However there is a possible thing to apply reflective learning strategy where teachers can convince the students not to be afraid to make mistakes when studying English. Making mistake is one of studying process. The other thing is that teachers can give students freedom to select the simplified materials which are set according to selected texts or genres, or functional language in each term or semester.

RECOMMENDATION
This research is not adequate enough because it is not based on the real research in the field. So it needs further research by other experts or practitioners especially in a form of class action research.

* Widyaiswara Balai Diklat Keagamaan Semarang

BIBLIOGRAPHY
Allen, T & Ryan, S. 1999, 'A Stakeholder Classrooms', Modern English Teacher, Vol. 8. No. 2, pp. 58-61.
Field, J. 1998, 'Note on Listening: Authenticity', Modern English Teacher, Vol. 6. No. 3, pp. 49-51.
Robles, A. 1998, 'Reflective Learning: Why and How', Modern English Teacher, Vol. 7. No. 1, pp. 43-46.

WI JANGAN LAGI MENGAJAR

There are paradigms that is hold by widyaiswara in conducting teaching learning activity in the classroom. Widyaiswara should acquire competencies in content mastery, transfer expert and developing learning materials. However, what has happenned in the recent time is that transfer expert is no longer relevant with the condition. This concept should be replaced with the newer and more effective concept that is construct expert. The term construct expert is more appropriate rather than transfer expert. With this new concept, widyaiswara is no longer solicited to teach, but to construct learning society.
Pendahuluan
Mengajar adalah aktivitas dimana terjadi interaksi antara subyek didik dengan pendidik. Dalam mengajar diharapkan terjadi komunikasi dua arah. Kecenderungan dalam mengajar yang sering terjadi pengajar mendominasi aktivitas pengajaran. Sehingga yang terjadi adalah teacher centred. Demikian pula fenomena yang terjadi dalam dunia kediklatan. Mengajar dalam konteks kediklatan adalah aktivitas transferring knowledge. Pada dasarnya mengajar adalah mengubah perilaku peserta Diklat seperti yang telah dipaparkan dalam tujuan pembelajaran khusus (Titik & Sutrisno, 2002).
Widyaiswara mempunyai tugas utama yaitu melaksanakan Dikjartih atau pendidikan, pengajaran dan pelatihan. Sungguh sebuah pekerjaan yang sangat mulia bila widyaiswara memahami esensi dari dikjartih. Bukan hanya pengajaran yang dituntut dari widyaiswara untuk mengampu kelas dalam sebuah diklat, namun juga aspek pendidikan dan pelatihan. Pendidikan mempunyai aspek lebih dalam dari sekedar pengajaran. Sedangkan pelatihan berguna untuk meningkatkan ketrampilan atau kecerdasan psikomotoris peserta diklat agar sekembalinya ke tempat kerja mampu melaksanakan tugas dengan terampil.

Agar dapat melakukan tugas dikjartih dengan baik, widyaiswara dibekali dengan kemampuan yang disebut dengan Content Expert, Transfer expert, dan Development of knowledge. Apa yang akan kita kritisi di sini adalah fenomena transfer expert yang bila tidak cermat dalam menafsirkan akan menjadi faham yang menyesatkan


Transfer Expert
Agar dapat melakukan transfer pengetahuan dengan baik, seorang widyaiswara diharapkan harus menguasai konsep transfer expert. Konsep itu telah ditanamkan sejak seorang calon widyaiswa mengikuti diklat kewidyaiswaraan berjenjang tingkat dasar hingga tingkat mahir. Setiap kali nara sumber dari Lembaga Administrasi Negara menyampaikan materi kepada para widyaiswara, konsep itu selalu ditekankan berulang ulang. Apakah sesungguhnya transfer expert? Transfer expert jika diterjemahkan secara bebas berarti seseorang yang mempunyai keahlian dalam menyampaikan. Apalah artinya seseorang mempunyai content atau pengetahuan yang banyak jika dia tidak mampu menyampaikan apa yang dia miliki kepada orang lain. Banyak orang pandai namun sedikit orang yang bisa menyampaikan kepandaiannya kepada orang lain. Untuk itulah seorang widyaiswara dituntut bukan hanya sekedar content expert yang ahli dalam penguasaan keilmuan namun juga transfer expert atau orang yang mempunyai keahlian untuk menyampaikan ilmunya kepada orang lain.
Namun benarkah bila seseorang sudah mempunyai kemampuan untuk menyampaikan akan berhasil dalam melaksanakan tugasnya sebagai pengajar? Bila transfer ditafsirkan sebagai ketrampilan how to teach maka dia akan terjebak pada fenomena filling the leak vessel, mengisi bejana yang bocor. Sebuah pengajaran yang hanya enak untuk dinikmati saat itu namun tak dapat diaplikasikan setelah sampai di tempat kerja, ibarat makanan yang hanya enak dikunyah namun sulit ditelan. Hal ini nyatakan dalam seminar evaluasi hasil diklat tahun 2007 yang mengatakan bahwa banyak peserta yang tidak memahami apa yang diajarkan selama diklat. Mengapa demikian? Banyak alternatif jawaban yang bisa diberikan, antara lain:
peserta yang kurang kompeten
widyaiswara yang kurang kompeten
strategi dan model pembelajaran yang kurang relevan
desain diklat yang kurang akurat
Marilah kita fokuskan pada opsi nomor dua dan tiga. Bila benar kompetensi yang dimiliki widyaiswara kurang, maka layak dikaji ulang sistem rekrutmen widyaiswara. Hal ini tentu saja tidak benar. Karena pengajaran dilakukan secara material oriented, atau proses diklat yang dalam menentukan pengempunya berorientasi pada kompetensi widyaiswara pada materi diklat yang telah ditentukan. Selain itu juga bahwa widyaiswara yang direkrut telah menjalani seleksi sesuai dengan standard yang ditetapkan oleh Lembaga Administrasi Negara.
Kalau demikian tinggal nomor tiga yang perlu diberi perhatian lebih serius. Dengan keahlian mentransfer pengetahuan yang dimiliki diharapkan pembelajaran dapat dilakukan secara optimal. Fakta yang baru disampaikan di atas membuka wawasan baru untuk mengkritisi konsep transfer expert yang selama ini dipegang.
Adalah merupakan sebuah trend dalam pembelajaran di lembaga diklat untuk menyampaikan materi secara langsung (menggunakan model Direct Instruction) dengan bantuan sebuah LCD Proyektor. Perangkat ini akan meningkatkan performa widyaiswara dalam mentransfer pengetahuan kepada peserta diklat. Sajian akan lebih menarik dan atraktif bila menggunakan LCD daripada sekedar menggunakan Whiteboard atau OHP. Peserta akan tersedot perhatiannya ke materi yang disampaikan oleh widyaiswara melalui LCD, apalagi bila Widyaiswaranya improvisatif.
Namun ternyata fenomena ini malah akan membunuh karakter widyaiswara itu sendiri dalam mengembangkan kemampuan andragoginya. Peserta akan diperlakukan seperti bejana kosong yang siap diisi oleh widyaiswara. Ada hal terlupakan di sini bahwa mereka bukan lagi sebuah bejana kosong. Mereka adalah individu yang telah mengenyam pengetetahuan dan pengalaman selama mereka berkecimpung dalam dunia mereka sendiri. Yang mereka butuhkan adalah meningkatkan apa yang telah mereka miliki agar bermanfaat bagi lingkungan kerja mereka. Walaupun informasi yang disampaikan oleh widyaiswara adalah barang baru, namun mereka mempunyai previous notion yang menjadi dasar mereka membangun pengetahuan baru.
Perlakuan yang salah terhadap peserta karena tafsiran transfer expert inilah yang akan menjadi faham yang menyesatkan.
Construct expert
Apa yang seharusnya dilakukan oleh widyaiswara terhadap peserta diklat agar ilmu yang disampaikan dapat long lasting atau bertahan lebih lama dalam memori peserta adalah mengkondisikan peserta agar membangun pengetahuan sendiri. Ketrampilan mengkondisikan peserta agar membangun pengetahuan sendiri itulah yang disebut dengan construct expert.
Dalam faham konstruktivisme, pengetahuan baru akan diterima oleh seseorang melalui 3 cara yaitu: assimilasi, akomodasi dan adaptasi (Piaget , 2000). Marilah kita tinjau lebih dalam ketiga proses tersebut.
Assimilasi merupakan suatu proses pembentukan pengetahuan melalui cara penerimaan dengan mudah. Hal ini terjadi karena di dalam struktur kognitif telah terdapat pengetahuan yang selaras dengan pengetahuan baru. Dalam proses ini pengetahuan baru terassimilasi tanpa melalui proses disequilibrium (ketidakseimbangan).
Akomodasi terjadi bila pengalaman baru yang diterima berbeda dengan pengetahuan awal yang telah dimiliki. Pada proses ini terjadi disequilibrium namun tidak terjadi cognitive conflict karena segera terakomodasi
Adaptasi terjadi apabila pengalaman baru yang diperoleh berbeda dengan pengetahuan awal yang telah dimiliki dan terjadi disequilibrium serta cognitive conflict di dalam diri seseorang sehingga diprlukan waktu yang lama untuk dapat mengembalikan keseimbangan kognitif.
Dengan memahami proses terbentuknya pengalaman baru pada diri seseorang maka widyaiswara akan improvisatif dalam membangun pengetahuan baru peserta diklat.
Gambar 01: WI sedang membangun suasa belajar
Gambar 02: kegiatan pembelajaran diharapkan terbentuk masyarakat belajar.
Jangan Mengajar...
Memahami bahwa mengajar lebih cenderung ke teacher centred yang tidak berkonotasi ke arah pembangunan pengetahuan sendiri oleh peserta diklat, maka paradigma mengajar layak untuk ditinggalkan. Widyaiswara tidak seharusnya mengajar, karena mengajar akan menghabisken energi widyaiswara lebih banyak dari pada peserta diklat. Yang perlu dilakukan oleh widyaiswara adalah membangun masyarakat belajar di dalam kelas (Sidhi, 2001; 4). Kegiatan ini akan menguras energi widyaiswara lebih sedikit daripada peserta diklat dan akan membentuk pengetahuan lebih dalam daripada mengajar.
Konsep Cooperative Learning dipandang layak untuk diterapkan dalam rangka membangun masyarakat belajar. Dalam masyarakat belajar tercipta suasana belajar yang kental di dalam kelas. Peserta lebih aktif untuk melakukan proses pembelajaran daripada widyaisara. Sumber informasi tidak hanya diperoleh dari satu arah, widyaiswara saja, namun dari beberapa arah, bisa dilakukan antar teman, dengan widyaiswara, atau dari sumber lain yang ada di sekitar arena pembelajaran. Pembelajaran akan lebih efektif bila peserta diklat aktif mencari sumber informasi daripada widyaiswara yang aktif menyampaikan informasi. Jadi apa yang dilakukan widyaiswara? Di kelas widyaiswara hanya memfasilitasi proses pembelajaran. Yang perlu dilakukan oleh widyaiswara adalah kegiatan awal dalam mengkondisikan peserta didik untuk belajar.
Ada ankedot menarik tentang mengajar yang perlu kita cermati bersama. Dua orang anak kecil sedang bercerita kalau ayahnya, yang seorang pelatih anjing, sedang mengajari seekor anjing.
Anak A: “ Ayahku sedang mengajari anjing membaca”
Anak B: “ Wah, hebat dong anjingmu sekarang bisa membaca!”
Anak A: “ Siapa bilang anjingku bisa membaca, aku hanya bilang ayahku mengajari anjingku membaca, tapi anjingku tetap menggonggong, tidak bisa membaca”
Anekdot di atas mencerminkan pembelajaran yang gagal. Pembelajaran yang gagal adalah pembelajaran yang tidak mengakomodasi minat dan kebutuhan peserta selaku pembelajar. Model pembelajaran semacam ini hanya untuk memenuhi keinginan widyaiswara selaku pengajar. Ketika peserta tidak tertarik atau tidak merasa butuh dengan apa yang diajarkan widyaiswara, maka apapun yang diajarkan widyaiswara akan menjadi sebuah angin lalu.



Kesimpulan
Dari kajian di atas dapat disimpulkan bahwa ada perbedaan yang mendasar antara transfer expert dengan construct expert. Transfer expert lebih berorientasi kepada pengajar sedangkan construct expert lebih berorientasi kepada pembelajar. Dunia kediklatan adalah dunia pembelajaran orang dewasa maka tidak selayaknya menganggap peserta diklat sebagai bejana kosong yang hanya siap untuk diisi. Peserta diklat adalah orang dewasa yang telah memiliki pengetahuan dan pengalaman awal sehingga pengetahuan baru perlu dibangun oleh mereka sendiri berdasar pengetahuan awal yang telah mereka miliki. Menghadapi kondisi yang demikian maka selayaknya lebih menggunakan pendekatan construct expert daripada transfer expert. Dalam construct expert widyaiswara tidak perlu mengajar sebagaimana dalam konsep transfer expert. Yang perlu dilakukan oleh widyaiswara adalah membangun masyarakat belajar di dalam kelas dan bertindak selaku fasilitator belajar.


Daftar Pustaka:
Bell, Beverley.1995. Children’s Science. Constructivism and learning in Science. Victoria: Deakin University.
Hodson, Derek and Hodson, Julie. 1988. From Constructivism to Social constructivism : A Vygotskian Perspectives Teaching and Learning Science: School Science Review . 79 (289) : 33 – 41
Indrajati Siddhi, Prof., 2001, Menuju Masyarakat Belajar, Jakarta: Riennaka
Piaget, Jean, - Intellectual Development, dikutip dari: <http://129.7.160.115/INST5931/PIAGET1.html >
Tietik Rostiah, Dra., Sutrisno, Drs. , M.Si., 2002, Praktik Mengajar, Jakarta: Lembaga Administrasi Negara RI.