Selasa, 17 Maret 2009

WI JANGAN LAGI MENGAJAR

There are paradigms that is hold by widyaiswara in conducting teaching learning activity in the classroom. Widyaiswara should acquire competencies in content mastery, transfer expert and developing learning materials. However, what has happenned in the recent time is that transfer expert is no longer relevant with the condition. This concept should be replaced with the newer and more effective concept that is construct expert. The term construct expert is more appropriate rather than transfer expert. With this new concept, widyaiswara is no longer solicited to teach, but to construct learning society.
Pendahuluan
Mengajar adalah aktivitas dimana terjadi interaksi antara subyek didik dengan pendidik. Dalam mengajar diharapkan terjadi komunikasi dua arah. Kecenderungan dalam mengajar yang sering terjadi pengajar mendominasi aktivitas pengajaran. Sehingga yang terjadi adalah teacher centred. Demikian pula fenomena yang terjadi dalam dunia kediklatan. Mengajar dalam konteks kediklatan adalah aktivitas transferring knowledge. Pada dasarnya mengajar adalah mengubah perilaku peserta Diklat seperti yang telah dipaparkan dalam tujuan pembelajaran khusus (Titik & Sutrisno, 2002).
Widyaiswara mempunyai tugas utama yaitu melaksanakan Dikjartih atau pendidikan, pengajaran dan pelatihan. Sungguh sebuah pekerjaan yang sangat mulia bila widyaiswara memahami esensi dari dikjartih. Bukan hanya pengajaran yang dituntut dari widyaiswara untuk mengampu kelas dalam sebuah diklat, namun juga aspek pendidikan dan pelatihan. Pendidikan mempunyai aspek lebih dalam dari sekedar pengajaran. Sedangkan pelatihan berguna untuk meningkatkan ketrampilan atau kecerdasan psikomotoris peserta diklat agar sekembalinya ke tempat kerja mampu melaksanakan tugas dengan terampil.

Agar dapat melakukan tugas dikjartih dengan baik, widyaiswara dibekali dengan kemampuan yang disebut dengan Content Expert, Transfer expert, dan Development of knowledge. Apa yang akan kita kritisi di sini adalah fenomena transfer expert yang bila tidak cermat dalam menafsirkan akan menjadi faham yang menyesatkan


Transfer Expert
Agar dapat melakukan transfer pengetahuan dengan baik, seorang widyaiswara diharapkan harus menguasai konsep transfer expert. Konsep itu telah ditanamkan sejak seorang calon widyaiswa mengikuti diklat kewidyaiswaraan berjenjang tingkat dasar hingga tingkat mahir. Setiap kali nara sumber dari Lembaga Administrasi Negara menyampaikan materi kepada para widyaiswara, konsep itu selalu ditekankan berulang ulang. Apakah sesungguhnya transfer expert? Transfer expert jika diterjemahkan secara bebas berarti seseorang yang mempunyai keahlian dalam menyampaikan. Apalah artinya seseorang mempunyai content atau pengetahuan yang banyak jika dia tidak mampu menyampaikan apa yang dia miliki kepada orang lain. Banyak orang pandai namun sedikit orang yang bisa menyampaikan kepandaiannya kepada orang lain. Untuk itulah seorang widyaiswara dituntut bukan hanya sekedar content expert yang ahli dalam penguasaan keilmuan namun juga transfer expert atau orang yang mempunyai keahlian untuk menyampaikan ilmunya kepada orang lain.
Namun benarkah bila seseorang sudah mempunyai kemampuan untuk menyampaikan akan berhasil dalam melaksanakan tugasnya sebagai pengajar? Bila transfer ditafsirkan sebagai ketrampilan how to teach maka dia akan terjebak pada fenomena filling the leak vessel, mengisi bejana yang bocor. Sebuah pengajaran yang hanya enak untuk dinikmati saat itu namun tak dapat diaplikasikan setelah sampai di tempat kerja, ibarat makanan yang hanya enak dikunyah namun sulit ditelan. Hal ini nyatakan dalam seminar evaluasi hasil diklat tahun 2007 yang mengatakan bahwa banyak peserta yang tidak memahami apa yang diajarkan selama diklat. Mengapa demikian? Banyak alternatif jawaban yang bisa diberikan, antara lain:
peserta yang kurang kompeten
widyaiswara yang kurang kompeten
strategi dan model pembelajaran yang kurang relevan
desain diklat yang kurang akurat
Marilah kita fokuskan pada opsi nomor dua dan tiga. Bila benar kompetensi yang dimiliki widyaiswara kurang, maka layak dikaji ulang sistem rekrutmen widyaiswara. Hal ini tentu saja tidak benar. Karena pengajaran dilakukan secara material oriented, atau proses diklat yang dalam menentukan pengempunya berorientasi pada kompetensi widyaiswara pada materi diklat yang telah ditentukan. Selain itu juga bahwa widyaiswara yang direkrut telah menjalani seleksi sesuai dengan standard yang ditetapkan oleh Lembaga Administrasi Negara.
Kalau demikian tinggal nomor tiga yang perlu diberi perhatian lebih serius. Dengan keahlian mentransfer pengetahuan yang dimiliki diharapkan pembelajaran dapat dilakukan secara optimal. Fakta yang baru disampaikan di atas membuka wawasan baru untuk mengkritisi konsep transfer expert yang selama ini dipegang.
Adalah merupakan sebuah trend dalam pembelajaran di lembaga diklat untuk menyampaikan materi secara langsung (menggunakan model Direct Instruction) dengan bantuan sebuah LCD Proyektor. Perangkat ini akan meningkatkan performa widyaiswara dalam mentransfer pengetahuan kepada peserta diklat. Sajian akan lebih menarik dan atraktif bila menggunakan LCD daripada sekedar menggunakan Whiteboard atau OHP. Peserta akan tersedot perhatiannya ke materi yang disampaikan oleh widyaiswara melalui LCD, apalagi bila Widyaiswaranya improvisatif.
Namun ternyata fenomena ini malah akan membunuh karakter widyaiswara itu sendiri dalam mengembangkan kemampuan andragoginya. Peserta akan diperlakukan seperti bejana kosong yang siap diisi oleh widyaiswara. Ada hal terlupakan di sini bahwa mereka bukan lagi sebuah bejana kosong. Mereka adalah individu yang telah mengenyam pengetetahuan dan pengalaman selama mereka berkecimpung dalam dunia mereka sendiri. Yang mereka butuhkan adalah meningkatkan apa yang telah mereka miliki agar bermanfaat bagi lingkungan kerja mereka. Walaupun informasi yang disampaikan oleh widyaiswara adalah barang baru, namun mereka mempunyai previous notion yang menjadi dasar mereka membangun pengetahuan baru.
Perlakuan yang salah terhadap peserta karena tafsiran transfer expert inilah yang akan menjadi faham yang menyesatkan.
Construct expert
Apa yang seharusnya dilakukan oleh widyaiswara terhadap peserta diklat agar ilmu yang disampaikan dapat long lasting atau bertahan lebih lama dalam memori peserta adalah mengkondisikan peserta agar membangun pengetahuan sendiri. Ketrampilan mengkondisikan peserta agar membangun pengetahuan sendiri itulah yang disebut dengan construct expert.
Dalam faham konstruktivisme, pengetahuan baru akan diterima oleh seseorang melalui 3 cara yaitu: assimilasi, akomodasi dan adaptasi (Piaget , 2000). Marilah kita tinjau lebih dalam ketiga proses tersebut.
Assimilasi merupakan suatu proses pembentukan pengetahuan melalui cara penerimaan dengan mudah. Hal ini terjadi karena di dalam struktur kognitif telah terdapat pengetahuan yang selaras dengan pengetahuan baru. Dalam proses ini pengetahuan baru terassimilasi tanpa melalui proses disequilibrium (ketidakseimbangan).
Akomodasi terjadi bila pengalaman baru yang diterima berbeda dengan pengetahuan awal yang telah dimiliki. Pada proses ini terjadi disequilibrium namun tidak terjadi cognitive conflict karena segera terakomodasi
Adaptasi terjadi apabila pengalaman baru yang diperoleh berbeda dengan pengetahuan awal yang telah dimiliki dan terjadi disequilibrium serta cognitive conflict di dalam diri seseorang sehingga diprlukan waktu yang lama untuk dapat mengembalikan keseimbangan kognitif.
Dengan memahami proses terbentuknya pengalaman baru pada diri seseorang maka widyaiswara akan improvisatif dalam membangun pengetahuan baru peserta diklat.
Gambar 01: WI sedang membangun suasa belajar
Gambar 02: kegiatan pembelajaran diharapkan terbentuk masyarakat belajar.
Jangan Mengajar...
Memahami bahwa mengajar lebih cenderung ke teacher centred yang tidak berkonotasi ke arah pembangunan pengetahuan sendiri oleh peserta diklat, maka paradigma mengajar layak untuk ditinggalkan. Widyaiswara tidak seharusnya mengajar, karena mengajar akan menghabisken energi widyaiswara lebih banyak dari pada peserta diklat. Yang perlu dilakukan oleh widyaiswara adalah membangun masyarakat belajar di dalam kelas (Sidhi, 2001; 4). Kegiatan ini akan menguras energi widyaiswara lebih sedikit daripada peserta diklat dan akan membentuk pengetahuan lebih dalam daripada mengajar.
Konsep Cooperative Learning dipandang layak untuk diterapkan dalam rangka membangun masyarakat belajar. Dalam masyarakat belajar tercipta suasana belajar yang kental di dalam kelas. Peserta lebih aktif untuk melakukan proses pembelajaran daripada widyaisara. Sumber informasi tidak hanya diperoleh dari satu arah, widyaiswara saja, namun dari beberapa arah, bisa dilakukan antar teman, dengan widyaiswara, atau dari sumber lain yang ada di sekitar arena pembelajaran. Pembelajaran akan lebih efektif bila peserta diklat aktif mencari sumber informasi daripada widyaiswara yang aktif menyampaikan informasi. Jadi apa yang dilakukan widyaiswara? Di kelas widyaiswara hanya memfasilitasi proses pembelajaran. Yang perlu dilakukan oleh widyaiswara adalah kegiatan awal dalam mengkondisikan peserta didik untuk belajar.
Ada ankedot menarik tentang mengajar yang perlu kita cermati bersama. Dua orang anak kecil sedang bercerita kalau ayahnya, yang seorang pelatih anjing, sedang mengajari seekor anjing.
Anak A: “ Ayahku sedang mengajari anjing membaca”
Anak B: “ Wah, hebat dong anjingmu sekarang bisa membaca!”
Anak A: “ Siapa bilang anjingku bisa membaca, aku hanya bilang ayahku mengajari anjingku membaca, tapi anjingku tetap menggonggong, tidak bisa membaca”
Anekdot di atas mencerminkan pembelajaran yang gagal. Pembelajaran yang gagal adalah pembelajaran yang tidak mengakomodasi minat dan kebutuhan peserta selaku pembelajar. Model pembelajaran semacam ini hanya untuk memenuhi keinginan widyaiswara selaku pengajar. Ketika peserta tidak tertarik atau tidak merasa butuh dengan apa yang diajarkan widyaiswara, maka apapun yang diajarkan widyaiswara akan menjadi sebuah angin lalu.



Kesimpulan
Dari kajian di atas dapat disimpulkan bahwa ada perbedaan yang mendasar antara transfer expert dengan construct expert. Transfer expert lebih berorientasi kepada pengajar sedangkan construct expert lebih berorientasi kepada pembelajar. Dunia kediklatan adalah dunia pembelajaran orang dewasa maka tidak selayaknya menganggap peserta diklat sebagai bejana kosong yang hanya siap untuk diisi. Peserta diklat adalah orang dewasa yang telah memiliki pengetahuan dan pengalaman awal sehingga pengetahuan baru perlu dibangun oleh mereka sendiri berdasar pengetahuan awal yang telah mereka miliki. Menghadapi kondisi yang demikian maka selayaknya lebih menggunakan pendekatan construct expert daripada transfer expert. Dalam construct expert widyaiswara tidak perlu mengajar sebagaimana dalam konsep transfer expert. Yang perlu dilakukan oleh widyaiswara adalah membangun masyarakat belajar di dalam kelas dan bertindak selaku fasilitator belajar.


Daftar Pustaka:
Bell, Beverley.1995. Children’s Science. Constructivism and learning in Science. Victoria: Deakin University.
Hodson, Derek and Hodson, Julie. 1988. From Constructivism to Social constructivism : A Vygotskian Perspectives Teaching and Learning Science: School Science Review . 79 (289) : 33 – 41
Indrajati Siddhi, Prof., 2001, Menuju Masyarakat Belajar, Jakarta: Riennaka
Piaget, Jean, - Intellectual Development, dikutip dari: <http://129.7.160.115/INST5931/PIAGET1.html >
Tietik Rostiah, Dra., Sutrisno, Drs. , M.Si., 2002, Praktik Mengajar, Jakarta: Lembaga Administrasi Negara RI.

Tidak ada komentar: